Minggu, 30 Januari 2011

“ Kepuasan Terletak Pada Usaha, Bukan Pada Pencapaian. Usaha Penuh Berarti Kemenangan Penuh.”

Setiap pribadi yang mau berjuang keras untuk masa depan yang lebih baik pasti akan meraih sukses yang diinginkan. Yang perlu dipahami bahwa sukses itu tidak berarti sekedar di ukur dari nilai uang, jabatan, pangkat, dan tampak luar. Tetapi, sukses itu merupakan sebuah keadaan jiwa, raga, pikiran dalam keseimbangan yang membahagiakan diri. Untuk meraih sukses sesuai harapan dan impian, kita harus mau melakukan perubahan terhadap perilaku dan pola pikir. Dimana perilaku dan pola pikir itu harus memiliki tekad yang kuat untuk meraih sukses yang diinginkan. Ingat! Setiap orang tidak sama, setiap orang punya mimpi yang berbeda, jadi tidak perlu mencontoh perilaku dan pola pikir orang lain, tapi jadilah diri sendiri yang hebat dan unik. Miliki mimpi dan cita-cita yang hebat, lalu buatlah rencana yang detail dan konkrit, kemudian rubahlah semua rencana detail dan konkrit itu menjadi tindakan untuk memperoleh sukses seperti yang diinginkan. Salah satu rahasia menjadi pribadi sukses, yaitu memiliki motivasi dan tekad yang kuat. Motivasi dan tekad yang kuat harus diiringi dengan semangat juang sebagai pemacu daya dorong dan daya tahan diri terhadap berbagai tantangan. Jadi, miliki keyakinan diri yang kuat untuk mendukung kisah sukses dalam mencapai semua impian dan harapan sesuai target yang telah ditetapkan melalui kalkulasi yang benar, serta menghindari spekulasi yang berbahaya. Kita harus selalu siaga terhadap berbagai potensi negatif diri kita. Kita juga harus selalu belajar dan berlatih untuk menemukan dan mengoptimalkan semua potensi diri yang hebat. Jangan pernah lalai untuk mengelola semua emosi positif dengan tepat sasaran, termasuk menyingkirkan setiap emosi negatif perusak dari dalam diri. Kita dilahirkan untuk menjadi pemenang di dalam hidup ini. Jadi, bangunlah jiwa kita dengan kepercayaan diri yang tinggi, bangunlah raga dengan tingkat kesehatan yang optimal, dan bangunlah pikiran dengan mental pemenang. Belajar dan berlatilah selalu untuk mengaktifkan semua kekuatan potensi terdalam diri kita, agar mampu memiliki daya tahan diri yang kuat dan kokoh dalam perjuangan panjang untuk meraih sukses. Kembangkan diri kita terus-menerus tanpa pernah menyerah oleh situasi dan kondisi apa pun. Temukan ide-ide baru yang cemerlang melalui kekuatan pikiran positif. Ingat! kita diciptakan ALLAH untuk menjadi pemenang dalam hidup. Dan, sekarang tugas Kita untuk berjuang keras, berjuang cerdas, berjuang penuh taktik dan strategi yang kreatif agar mampu mewujudkan setiap mimpi dan harapan menjadi kenyataan.

AMIIN…..

Salim
1508 100 703
Menteri Dalam Negeri BEM FMIPA ITS 2010-2011

Serasa dan Serasi

Tidak karena kamu memiliki semua pesona itu sekaligus, maka kamu bisa mencintai dan mengawini semua perempuan. Begitu juga sebaliknya. Pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, diperlukan untuk menciptakan daya tarik dan daya rekat yang permanen bila kita ingin membangun sebuah hubungan jangka panjang. Tapi seperti berlian, tidak semua orang mengenalnya dengan baik, maka mereka tidak menghargainya. Atau mungkin mereka mengenalnya, tapi terasa terlalu jauh untuk dijangkau, seperti mimpi memetik bintang atau mimpi memeluk gunung. Atau mungkin ia mengenalnya, tapi terasa terlalu mewah untuk sebuah kelas sosial, atau kurang serasi untuk sebuah suasana. Kira-kira itulah yang membuat Aisyah sekali ini benar-benar gundah. Orang terbaik di muka bumi ketika itu, Amirul Mu’minin, Khalifah Kedua, Umar Bin Khattab, hendak melamar adiknya, Ummu Kaltsum. Tidak ada alasan untuk menolak lamaran beliau kecuali bahwa Abu Bakar, sang Ayah, yang juga Khalifah Pertama, telah mendidik puteri-puterinya dengan penuh kasih sayang dan kemanjaan. Aisyah, karena itu, percaya bahwa adiknya tidak akan kuat beradaptasi dengan pembawaan Umar yang kuat dan kasar. Bahkan ketika Abu Bakar meminta pendapat Abdurrahman Bin Auf tentang kemungkinan penunjukan Umar Bin Khattab sebagai khalifah, beliau menjawab: “Dia yang paling layak, kecuali bahwa dia kasar”.

Dengan sedikit bersiasat, Aisyah meminta bantuan Amru Bin ‘Ash untuk “menggiring” Umar agar menikahi Ummu Kaltsum yang lain, yaitu Ummu Kaltsum Bind Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu berumur 11 tahun. Karena garis jiwa, akal dan ruh mereka lebih setara dan karena itu mereka akan tampak lebih serasi karena bisa serasa. Berbekal pengalaman sebagai diplomat ulung, pesan itu memang sampai kepada Umar. Akhirnya Umar menikahi Ummu Kaltsum Bin Ali Bin Abi Thalib.

Kesetaraan dan keserasian, itu yang lebih menentukan daripada sekedar pesona. Ibnu Hazem menjelaskan, kalau ada lelaki tampan menikahi perempuan jelek, atau sebaliknya, itu bukan sebuah keajaiban. Yang ajaib adalah kalau seorang lelaki meninggalkan kekasih yang cantik dan memilih kekasih baru yang jelek. “Saya tidak bisa memahaminya. Tapi memang tidak harus dijelaskan”. Ibnu Hazem, imam terbesar pada mazhab Zhahiryah, yang menulis puluhan buku legendaris dalam fiqhi, hadits, sejarah, sastra, puisi dan lainnya, lelaki tampan yang lembut dan seorang pencinta sejati, putera seorang menteri di Cordova, suatu ketika harus menelan luka: cintanya ditolak oleh seorang perempuan yang justru bekerja di rumahnya. Ibnu Hazem bahkan mengejar -ngejarnya dan melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan cintanya. Tapi tetap saja ditolak; “Saya teringat, kadang-kadang saya masuk melalui pintu rumahku dimana gadis itu ada di sana, untuk berdekat-dekat dengannya. Tapi begitu ia tahu aku mendekat ia segera menjauh dengan sopan dan tenang. Jika ia memilih pintu lain, maka aku akan ke sana juga tapi dia akan pindah lagi ke tempat lain. Dia tahu aku sangat mencintainya walaupun perempuan -perempuan tidak tahu hal itu karena jumlah mereka yang sangat banyak di istanaku”. Begitulah lelaki yang memiliki semua pesona itu ditolak. Bahkan ketika suatu saat Ibnu Hazem menyaksikan gadis itu menyanyi di istananya, Ibnu Hazem benar-benar terpesona dan makin mencintainya. Tapi ia hanya berkata dengan lirih: “Oh, nyanyian itu seakan turun ke hatiku, dan hari itu tidak akan pernah kulupakan sampai hari ketika berpisah dengan dunia”. Oh, lelaki baik yang terluka oleh hukum keserasaan dan keserasian.

Salim
1508 100 703
Menteri Dalam Negeri BEM FMIPA ITS 2010-2011

Redefinisi Mahasiswa


Berbicara tentang mahasiswa, hal pertama yang harus kita kritisi dan pertanyakan kembali adalah ” benarkah kita ini Mahasiswa ? jika iya, dimanakah eksistensi kita sebagai seorang mahasiswa? atau bahkan kita pun belum mengetahui arti dari mahasiswa itu sendiri?”. Betapa naifnya kita, apabila tidak mengenal diri kita sendiri. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya “ mahasiswa ” itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiyah, “ mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu ” Maha ” yang berarti tinggi dan ” Siswa ” yang berarti subyek pembelajar, jadi dari segi bahasa “ mahasiswa” diartikan sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi.

Namun jika kita memaknai “ mahasiswa” sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit pemikiran kita, sebab meski ia diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, “mahasiswa” tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar ( study ), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Semester. “mahasiswa” dituntut untuk menjadi seorang ”Agent Of Change” dan pelopor perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu sosial serta permasalahan umat dan bangsa.

Apabila kita flashback melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. “ mahasiswa ” bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quo-nya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa. Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu ” mahasiswa ” dapat dikategorikan sebagai ” Agent of social change ” yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa.

Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa, sebab masih ada sebagian madzhab mahasiswa yang cuek terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa , bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen , lantas pulang duluan ke rumah, titik. Inikah ”mahasiswa” ? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi , respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi kemahahasiswaannya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas perguruan tinggi dimana ia kuliah, misalnya dengan ikut serta aktif di Organisasi Kemahasiswaan.

Oleh karena itu, Dengan semangat Ramadhan mari bersama memaknai event ini dengan senatiasa menginsyafi dan selalu berintrospeksi diri kita sebagai seorang ” mahasiswa ”, juga kita jadikan sebagai moment untuk ” hijrah ”, yaitu hijrah dari kemalasan menuju kerja keras, hijrah dari sikap pesimis menuju sikap optimis, berani keluar dari kenyamanan untuk mendaki dan menempuh kesulitan, respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa , sehingga akhirnya kita layak dan pantas untuk disebut sebagai seorang ” mahasiswa ”.

Salim
1508 100 703
Menteri Dalam Negeri BEM FMIPA ITS 2010-2011

Jejak Kehidupan: Karya Sang Guru Itu Bernama Alkhairaat


Karya-karyanya sudah terlalu banyak. Salah satu karya terbesarnya adalah Alkhairaat. Bagi masyarakat Indonesia Timur, tidak asing lagi dengan nama ini. Pasalnya, lembaga pendidikan Islam ini tersebar hingga ke pelosok-pelosok di seantero Indonesia Timur. Mulai dari Palu hingga ke Papua. Bahkan di Jakarta dan Surabaya pun telah berdiri perwakilannya. Lantaran itu, jika orang menyebut Alkhairaat, maka yang akan terbersit di ingatan masyarakat, adalah nama Habib Idrus bin Salim Aljufrie. Di kalangan Abnaulkhairaat (anak-anak Alkhairaat) menyebutnya dengan sebutan Guru Tua atau Ustadz Tua. Seorang ulama ternama yang lahir di Taris, Hadrmaut, Yaman Selatan pada 14 Sya’ban 1319 Hijriah atau 18 Maret 1891 Miladiah. Guru Tua, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan, anak kedua dari pasangan Sayed Salim bin Alawy (seorang mufti di Hadramaut) dengan Andi Syarifah Nur (putri keturunan seorang raja di Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matowa Wajo) ini sarat dengan pengetahuan keagamaan. Sejak muda Guru Tua dikenal memiliki wawasan yang luas dan sudah menghafal Alquran. Beliau juga ahli di bidang Fiqhi (hukum Islam). Karena terjadi pergolakan politik di negaranya ketika itu, akhirnya ia dibuang oleh Inggris dan disuruh meninggalkan Yaman Selatan. Karena kerinduannya pada daerah ibunya, akhirnya Habib Idrus bin Salim Aljufrie memilih ke Batavia (Jakarta).

Di Batavia-lah, pertama kali Habib Idrus bin Salim Aljufrie memainkan peran pertama kali. Sejak saat itu, aktivitasnya pun terbilang cukup padat. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lainnya untuk mengajarkan agama kepada umat ketika itu. Tahun 1926, menjadi tahun penuh kesibukan Sang Guru Tua. Dari situ pula, Habib Idrus bin Salim Aljufrie berkenalan dan menjadi teman diskusi dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, di Jombang, Jawa Timur. Keduanya kerap kali terlibat dalam pembicaraan, bahkan perdebatan sekitar masalah agama hingga upaya meningkatkan kualitas umat Islam melalui jalur pendidikan di pesantren. Tidak hanya itu. Habib Idrus bin Salim Aljufrie, melanjutkan lagi dakwah ke Solo, Jawa Tengah dan ia dipercaya membina madrasah Al Rabithah Al Alawiyah cabang Solo. Selain sebagai pengajar, ia juga ditunjuk sebagai kepala sekolah tersebut. (Kini lembaga pendidikan Al Rabithah Al Alawiyah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro). Habib Saggaf bin Muhammad bin Salim Aljufrie, cucu Habib Idrus bin Salim Aljufrie, mengatakan, saat itu, di Jawa sudah sangat banyak ulama dan habaib. Akhirnya, tahun 1929, Habib Idrus bin Salim Aljufrie kemudian memilih mengajarkan agama di kawasan timur Indonesia. Ia memulai perjalanan ke Ternate, Maluku Utara. Beberapa saat mengajar di daerah kesultanan Islam itu, Habib Idrus bin Salim Aljufrie kemudian memilih melanjutkan perjalanan lagi ke Donggala, Sulawesi Tengah.

Di Donggala ketika itu, masyarakat masih hidup dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Habib Idrus bin Salim Aljufrie berpikir, ia harus mengajak umat di Donggala untuk memeluk Islam. Akhirnya, ia mendekati para tokoh masyrakat setempat, sampai akhirnya menikah dengan putri Donggala dari keturunan raja setempat. “Beberapa saat kemudian, Guru Tua menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam,” kata Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Tengah ini. Gagasan itu disambut positif para tokoh masyarakat. Maka berdirilah sebuah madrasah yang diberi nama Alkhairaat. Madrasah Alkhairaat yang pertama ini diresmikan pada 14 Muharram 1349 atau 1930 Masehi. Dari situlah, cikal bakal berdirinya ribuan madrasah dan sekolah Alkhairaat di kawasan Timur Indonesia. Data dari Pengurus Besar Alkhairaat menyebutkan, saat ini telah berdiri 1.816 madrasah dan sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Universitas Alkhairaat (UNISA). “Semuanya tersebar dari Palu hingga Papua, dan pusatnya berada di Palu” kata Habib Saggaf bin Muhammad Aljufruie. Kini, Habib Idrus bin Salim Aljufrie telah tiada. Beliau telah wafat pada hari Senin 12 Syawal 1389 Hijriyah atau 22 Desember 1969. Sang Guru Tua hanya bisa meninggalkan karya besar yang tak bergerak bernama Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat dan karya bergerak, yaitu ratusan ribu santri dan alumni Alkhairaat. “Suatu ketika beliau ditanya soal karya berupa buku, beliau hanya menjawab, karya ku adalah Alkhairaat dan murid-muridku yang selalu mengajarkan agama kepada umat,” kata Habib Idrus bin Salim Aljufrie.

Salim
1508 100 703
Menteri Dalam Negeri BEM FMIPA ITS 2010-2011